Bab Pernikahan dan Definisinya
BAB
I
N
I K A H
Pernikahan
oleh Islam di posisikan sebagai satu hal yang bersifat sakral, yang di dalamnya
mengandung nilai-nilai vertikal maupun horizontal. Hal ini merupakan upaya
untuk menciptakan kehidupan manusia yang beradab dan jauh dari praktek
kebinatangan. Oleh sebab itu, di aturlah naluri yang ada pada manusia dengan
sebuah undang-undang atau prinsip-prinsip yang bisa menjaga kesucian dan
kebersihan kemanusiaan itu. Menurut Islam, keluarga harus terbentuk melalui
pernikahan yang sah, hingga ketika ada sejoli yang hidup bersama tanpa melalui
pernikahan yang sah, demikian ini di anggap sebuah pelanggaran terhadap tatanan
norma-norma kemanusiaan dan keagamaan. Sebagian dari legalitas al-Qur’an dalam
memberikan sebuah lembaga pernikahan diantaranya adalah ayat :
وَمِنْ أَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ
مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لَأَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadamu, dan di
jadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum 21)
Selain ayat-ayat al-Quran yang
begitu banyak dalam memberikan anjuran untuk menikah, terdapat pula pada hadis
Nabi yang di riwayatkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim dari hadistnya Ibnu
Mas’ud :
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ أَيْ قَاطِعٌ لِلشَّهْوَةِ (الحديث)
Artinya : “Hai
kawula muda, siapa di antara kalian sudah punya biaya nikah,maka menikahlah
karena nikah itu lebik memejamkan mata dan lebih menjaga kehormatan ( Farji )
dan siapa yang belum mampu sebaiknya puasa, karena puasa itu menciptakan
keseimbangan”.
DEFINISI NIKAH
Nikah secara bahasa adalah
pengumpulan atau bisa dikatakan suatu ungkapan atau perbuatan senggama dan
aqad. Secara istilah sari’at adalah sebuah transaksi dengan memakai syarat dan
rukunya, yang memperbolehkan laki-laki bersenang-senang dengan perempuan dengan
cara merangkul, mencium, menyetubuhi dll. Ungkapan nikah yang terdapat dalam
al-Quran dan al-hadist yang bisa digunakan untuk kata aqad dan jima’, keduanya
masih menjadi perdebatan di antara para mujtahid dan pakar sastra, dalam
menentukan makna hakikat atau majaz. Pertama menurut Imam Abu Hanifah,1
secara hakiki dapat digunakan untuk arti senggama, ketika tak ada yang
mengalihkan pada arti lain. Kedua, menurut mayoritas fuqoha’, termasuk
diantaranya adalah Imam Syafi’i2 menilai
lain yakni adalah akad.
Kata nikah yang tersusun dari huruf nun, kaf, alif,
hak, bisa memberikan sebuah makna :
1.
Nun
artinya naumun nikmatun (tidur yang
nikmat).
2.
Kaf
artinya kamilatun (sempurna).
3.
Alif
artinya ulfatun (kasih sayang).
4.
Hak
artinya hikmatun (berfaidah).
HUKUM-HUKUM NIKAH
Nikah yang berperan sebagai fasiliator dalam
pembentukan kemandirian, memberikan hak penuh kepada siapa saja dalam
memanfaatkan potensi dan sumber daya yang dimiliki, untuk membuat perencanaan
dan progam-progam yang akan dilaluinya, agar tujuan-tujuan nikah ini tercapai
secara maksimal.
Maka untuk menjalankan peran ini, perlu adanya
kamposisi, kondisi sosial manusia, karena di dalamnya mengandung kewajiban dan
hak yang begitu rumit, katakanlah kewajiban memberikan nafkah lahir batin,
memperlakukan istri dengan baik, mendidik anak dll. Dengan demikian konsep
hukum nikah secara legal bersandar kepada
strategis kondisional manusia dan kemaslahatan dunia akherat, sehingga
sangat perlu kejelasan hukum secara benar mengenali pernikahan.
A. Wajib;
adalah kategori manusia yang kondisi psikologisnya sampai pada tingkat libido
yang sangat tinggi, hingga di yakini zina jika ia tidak segera menikah,
sekalipun telah di minimalkan dengan jalan puasa dan lainnya, namun hasilnya
tetap sia-sia. Sementara mengenai kondisi maliah (material) ia termasuk
tergolong mampu dalam pernikahan seperti mahar, nafkah dan seterusnya.
B. Sunnah; kategori manusia
yang mana tingkat libidonya sedang bergelora kendati pun ia masih bisa
menghindari terjadinya zina, semisal dengan olahraga, menyibukan dengan
berbagai aktifitas dan lain sebagainya, Sedangkan dalam masalah maliah, ia tergolong mampu untuk
menikah, pendek kata kategori manusia yang siap lahir dan batin.
C. Khilaful Aula; kategori manusia yang bergejolak syahwatnya
sedangkan dalam sisi finansial belum mempunyai persiapan. Singkat kata, hanya
mempunyai modal batin saja.
D. Makruh; bagi
manusia yang menderita penyakit yang berpengaruh dalam pernikahan, seperti harom (pikun), impoten, alat kelaminnya
terpotong dsb. Atau orang yang tidak sakit namun ia belum berkeinginan untuk
nikah, selain itu ia pun belum mempunyai biaya cukup bilamana melangsung kan pernikahan.
Catatan
Penting
Cara yang baik dalam meminimalisir syahwat adalah
dengan berpuasa, tidak boleh memakai kapur barus atau sejenisnya yang bisa
berakibat fatal. Bila dengan puasa sahwatnya masih bergelora, menurut
Al-Ghazali usahakan minum air putih saja ketika berbuka.*)
Jika masih menggebu-gebu, maka menikah lah, dan serahkan pada Allah SWT apa
saja resiko yang akan dilalui di dalam pernikahan.
1 Abu Hanifah
Annu’man, lahir Kufah 80 H, wafat Baghdad 150 H. Termasuk Tabi’in.
2 Abu Abdullah
Muhammad bin Idris As-Syafi,i lahir Qhuzat Palestina 150 H, Wafat 204 H.
Termasuk Tabiit Tabi-in.
*) Ihya’ Ulumuddin, Juz III Hal. 60
Tags :
Nikah
0 Response to "Bab Pernikahan dan Definisinya"
Posting Komentar